ada awal 2000-an, Nepal baru saja keluar dari bayang-bayang perang saudara. Luka sosial masih terasa, kecurigaan antar kelompok politik begitu dalam, dan anak muda lebih sering dipandang hanya sebagai mesin demonstrasi daripada aktor politik sejati. Namun, sebuah inisiatif yang difasilitasi oleh Demo Finland mengubah arah sejarah itu.
Diluncurkan pada 2007, program Demo Finland di Nepal lahir dari permintaan organisasi pemuda dan mahasiswa politik Nepal sendiri. Mereka ingin ruang aman untuk berdialog setelah bertahun-tahun terjebak dalam konflik. Maka terbentuklah Joint Youth and Student Platform (JYSP), wadah lintas partai yang mempertemukan pemuda dari latar belakang ideologi berbeda, bahkan mantan kombatan, untuk duduk bersama dan berbicara tentang masa depan negeri.
Tantangan Awal: Dari Ketegangan ke Dialog
Rakesh Karna, yang kemudian menjabat sebagai Direktur Program Demo Finland di Nepal pada 2014, masih mengingat betapa sulitnya tahap awal. “Hubungan antar organisasi pemuda politik sangat tegang. Ada yang baru keluar dari perang, ada yang membawa ideologi mainstream, dan ada pula kekuatan regional yang sedang belajar masuk ke ruang politik,” kenangnya.
Namun, lewat dialog yang terstruktur, perdebatan yang panas perlahan berubah menjadi diskusi yang produktif. Pada 2009, JYSP berhasil melahirkan sebuah kebijakan pemuda bersama—suatu pencapaian langka di tengah politik Nepal yang sarat polarisasi.
Dari Pelatihan ke Kepemimpinan
Tak sekadar forum, Demo Finland juga memperkuat kapasitas anak muda melalui pelatihan rutin. Ratusan peserta setiap tahun belajar soal kepemimpinan, negosiasi, dan politik inklusif. Hasilnya nyata: banyak alumninya kini menjabat sebagai anggota parlemen, menteri, bahkan tokoh penting dalam partai politik Nepal.
Isu gender juga tak ketinggalan. Antara 2013–2015, proyek khusus yang didanai Uni Eropa fokus mendorong partisipasi politik perempuan muda. “Kami selalu bertanya, bagaimana menciptakan ruang yang aman dan setara bagi perempuan di politik?” kata Karna.
Solidaritas di Masa Krisis
Momentum penting lainnya datang saat gempa besar mengguncang Nepal pada 2015. Alih-alih terjebak pada perbedaan politik, kelompok pemuda lintas partai yang tergabung dalam JYSP justru turun bersama melakukan evakuasi dan distribusi bantuan. “Mereka meninggalkan perbedaan dan tampil sebagai kekuatan pemuda untuk masyarakat,” ujar Karna.
Belajar Melampaui Batas
Partisipan JYSP juga mendapat kesempatan belajar dari luar negeri, termasuk kunjungan ke Finlandia, Slovenia, dan Sri Lanka. Bagi banyak anak muda Nepal, melihat langsung praktik parlemen di Finlandia membuka wawasan baru tentang transparansi, konsultasi publik, dan peran komite tematik.
“Yang menarik, mereka juga sadar bahwa persoalan anak muda ternyata mirip di mana pun, entah di Eropa atau Nepal,” tambah Karna.
Dampak Jangka Panjang
Meski program Demo Finland resmi berakhir pada 2015, jejaknya masih terasa. Budaya politik kekerasan di kalangan pemuda kini jauh berkurang. Konfrontasi tetap ada, tetapi tak lagi berdarah. Mantan aktivis muda kini menjadi politisi dewasa yang membawa semangat dialog ke arus utama politik.
Nepal kini dikenal dengan tradisi koalisi lintas partai. “Memang kadang membingungkan karena tidak ada oposisi yang jelas. Tapi sisi positifnya, orang belajar menerima perbedaan ideologi,” kata Karna.
Dialog sebagai Fondasi Kemanusiaan
Bagi Karna, pelajaran terbesar dari program ini bersifat universal. “Kita tak bisa hidup hanya dengan air, atau api, atau udara. Semua unsur dibutuhkan agar bumi bertahan. Begitu juga dengan politik: hanya dengan bekerja sama kita bisa bertahan dan berkembang,” ujarnya.
Nepal, negara yang baru dua dekade lalu keluar dari perang saudara, kini menjadi contoh bahwa membangun budaya dialog bukan sekadar idealisme, melainkan kebutuhan dasar demokrasi.
📝 Artikel ini bagian dari seri 20 Tahun Demo Finland, menyoroti program jangka panjang dan dampaknya di berbagai negara.